PROPOSAL “Penerapan Model Pembelajaran Treffinger
terhadap Hasil Belajar dan Komunikasi Matematis Siswa pada Mata Pelajaran
Matematika di Kelas VIII MTsN Limbanang”
TUGAS
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur dalam Mata Kuliah
Metodologi Penelitian dan Pengajaran Pendidikan
Matematika
Oleh :
FITRI RAHMI
2410.016
Dosen Pembimbing :
M. Imammuddin, M,Pd
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SJECH M. DJAMIL DJAMBEK
BUKITTINGGI
1433 H / 2013 M
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI
BAB I . PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
B.
Identifikasi Masalah
C.
Batasan Masalah
D.
Rumusan Masalah
E.
Tujuan Penelitian
F.
Defenisi Operasional
G.
Kegunaan Penelitian
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Pembelajaran
Matematika
2. Pembelajaran
Kooperatif
3. Model Belajar
Kreatif menurut Treffinger
4. Pembelajaran dengan
Model Treffinger
5. Kemampuan Kominukasi
Matematis
6. Pembelajaran
Konvensional
7. Hasil Belajar
8. Aktivitas Belajar
B. Kerangka Konseptual
C. Hipotesis
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan
Penelitian
B. Populasi dan Sampel
C. Variabel dan Data
D. Instrumen Penelitian
E. Prosedur Penelitian
F. Teknik Analisa Data
DAFTAR KEPUSTAKAAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan
zaman yang semakin modern terutama pada era globalisasi seperti sekarang ini
menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Peningkatan
kualitas sumber daya manusia merupakan persyaratan mutlak untuk mencapai tujuan
pembangunan. Salah satu wahana untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia
itu adalah pendidikan. Pendidikan merupakan suatu sarana yang mampu menciptakan
sumber daya manusia yang berfikir secara kritis dan mandiri serta menyeluruh,
karena ia merupakan modal dasar untuk mendapatkan manusia yang berkualitas.
Sebagaimana dijelaskan dalam Al- Quran surat
Al- mujadalah ayat 11 yang berbunyi[1]
Artinya:
Hai orang-orang beriman apabila dikatakan
kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah
niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan:
"Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan
Dari
ayat di atas dapat dijelaskan bahwa pendidikan itu sangat penting dalam
kehidupan. Allah juga akan meninggikan derajat orang- orang yang berilmu
pengetahuan tersebut. Maka setiap orang diwajibkan untuk menuntut ilmu
pengetahuan.
Pendidikan merupakan usaha sadar
untuk menumbuh kembangkan potensi sumber daya manusia melalui kegiatan
pengajaran. Dalam Undang – Undang No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
Nasional juga menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara efektif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat bangsa dan negara.
Pendidikan merupakan salah satu
aspek pembangunan yang harus dikembangkan. Melalui pendidikan diharapkan bangsa
Indonesia dapat mengejar ketertinggalannya dalam bidang sains dan teknologi
agar sejajar dengan negara yang lebih maju. Oleh sebab itu, pemerintah selalu berusaha
untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Peranan matematika dalam dunia
pendidikan sangatlah penting, karena matematika sebagai sumber dari ilmu yang
lain. Menurut Kline bahwa “matematika
itu bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri,
tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan
menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam”.[2]
Menerut BNSP Pembelajaran matematika di sekolah sebagaimana
dituliskan dalam KTSP memiliki tujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai
berikut :
1.
Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat
dalam pemecahan masalah
2.
Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan
dan pernyataan matematika
3.
Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang
diperoleh
4.
Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah
5.
Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.[3]
Kemampuan
komunikasi matematis merupakan salah satu aspek yang termasuk ke dalam
kemampuan berpikir tingkat tinggi, sehingga memegang peranan penting dalam
matematika. Liesnawti mengemukakan bahwa kita akan memerlukan komunikasi dalam
matematika jika hendak meraih secara penuh tujuan sosial seperti melek
matematika, belajar seumur hidup, dan matematika untuk semua orang.[4]
Berdasarkan hasil
pengamatan peneliti di lapangan, ternyata sejauh ini proses pembelajaran
matematika belum sepenuhnya mencapai target kriteria ketuntasan minimal yang
ditentukan. Hal ini terlihat dari nilai
rata – rata hasil belajar siswa pada ujian harian I pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Nilai
Rata – Rata Ujian Harian 1 pada Mata Pelajaran Matematika Siswa Kelas VIII MTsN
Limbang Tahun Ajaran 2012 / 2013.
KKM
|
Kelas
|
Jumlah
Siswa
|
Tuntas
|
Tidak
Tuntas
|
Presentase
|
|
Tuntas
|
Tidak Tuntas
|
|||||
6,00
|
VIII-A
|
24
|
11
|
13
|
45.83%
|
57.17%
|
VIII-B
|
22
|
11
|
11
|
50%
|
50%
|
|
VIII-C
|
22
|
9
|
13
|
40.90%
|
59.1%
|
Sumber : Guru Mata Pelajaran MTK Kelas VIII
Dari tabel di atas
dapat dilihat bahwa sebagian besar siswa kelas VIII nilainya masih berada di
bawah KKM. Rendahnya hasil belajar matematika siswa tersebut dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang berkaitan dengan proses pembelajaran.
Berdasarkan hasil
pengamatan diketahui bahwa dalam proses pembelajaran guru lebih mendominasi.
Interaksi antara guru dan siswa pada umumnya bersifat satu arah. Siswa yang
kelihatan aktif hanyalah siswa yang pintar saja. Sedangkan siswa yang lain
hanya diam mendengarkan pengarahan guru tanpa terlibat aktif dalam proses
pembelajaran, sehingga dalam proses pembelajaran nampak sekali perbedaan antara
siswa yang pintar dengan siswa yang memiliki kemampuan agak rendah, seolah-olah
ada dinding pemisah antara siswa yang pintar dengan siswa yang memiliki
kemampuan agak rendah.
Di saat guru
memberikan kesempatan untuk bertanya, hanya satu atau dua orang siswa saja yang
mau bertanya bahkan kadang-kadang tidak ada satupun dari mereka yang mau
bertanya. Kalaupun diberi tugas mereka
cenderung mencontoh kepada siswa yang pintar.
Berdasarkan hasil
wawancara dengan siswa dan guru mata pelajaran matematika tersebut, diketahui
bahwa siswa kurang berminat mempelajari matematika dan siswa kurang memahami
konsep-konsep dari materi yang mereka pelajari. Jika siswa diberi contoh soal
yang berbeda dengan contoh yang diberikan oleh guru, mereka merasa kesulitan
untuk menyelesaikannya.
Berdasarkan permasalahan di atas dibutuhkanlah
suatu model pembelajaran yang bisa mengaktifkan dan meningkatkan kerja sama
antara siswa terutama dalam meningkatkan pemahaman terhadap konsep-konsep matematika. Sehingga secara
tidak langsung dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Salah satu model pembelajaran yang penulis
maksud adalah model pembelajaran kooperatif tipe Treffinger. Model pembelajaran ini memberikan
kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan
jawaban yang paling tepat. Selain itu model ini juga mendorong siswa untuk
meningkatkan semangat kerjasama mereka.
Model pembelajaran ini sangat cocok sekali
dengan kondisi yang ada di lapangan yang membutuhkan model pembelajaran yang
mampu mengaktifkan seluruh siswa dan membina kerja sama antara siswa. Sehingga
tidak hanya siswa yang pintar saja yang aktif dalam proses pembelajaran, tetapi
siswa yang berkemampuan rendah pun juga bisa ikut aktif berperan serta dalam proses pembelajaran.
Model pembelajaran ini merupakan salah satu
model pembelajaran dalam pendekatan konstruktivisme. Di dalam Konstruktivisme
peran guru bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan siswa, melainkan
mengarahkan mereka untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika sehingga di
peroleh struktur matematika.[5]
Dalam pembelajaran kooperatif model Treffinger
ini siswa dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, yang terdiri dari siswa yang
berkemampuan tinggi, sedang dan rendah, pembagian kelompok itu berdasarkan
kemampuan akademik. Hal ini bertujuan agar siswa yang berkemampuan lebih, dapat
membagi pengetahuannya dengan teman yang lain sehingga setiap anggota kelompok
bisa memahami materi yang dipelajari.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti
tertarik untuk meneliti model pembelajaran kooperatif ini dalam suatu
penelitian yang berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Treffinger
terhadap Hasil Belajar dan Komunikasi Matematis Siswa pada Mata Pelajaran
Matematika di Kelas VIII MTsN Limbanang”
B.
Identifikasi
Masalah.
Berdasarkan latar
belakang masalah yang telah dikemukakan, maka dapat diidentifikasi beberapa
masalah sebagai berikut :
1.
Hasil belajar siswa masih rendah.
2.
Pembelajaran yang berlangsung masih bersifat satu arah.
3.
Pembelajaran kurang mengaktifkan siswa.
4.
Pembelajaran kurang menumbuhkan minat siswa.
5.
Kurangnya pemahaman siswa terhadap materi pelajaran
C.
Batasan Masalah
Berdasarkan
identifikasi masalah, maka berbagai masalah yang ada dalam latar belakang
dibatasi menjadi :
1. Aktivitas siswa
2. Hasil belajar siswa
D.
Rumusan Masalah
Berdasarkan kepada latar belakang masalah yang telah diuraikan
sebelumnya, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dirumuskan
sebagai berikut :
1. Apakah hasil belajar
dan kuminikasi matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif
tipe Treffinger lebih baik dari hasil
belajar siswa yang diajar dengan metode konvensional di kelas VIII MTsN
Limbanag?
2. Bagaimanakah
aktifitas siswa dalam belajar matematika dengan menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe Treffinger di kelas VIII MTsN Limbanang?
E.
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian yang sebelumnya dikemukakan,
maka penelitian yang dilakukan bertujuan untuk:
1. Mengetahui informasi
apakah hasil belajar siswa yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif
tipe Treffinger lebih baik dari hasil
belajar siswa yang diajar dengan metode konvensional.
2. Mengetahui aktivitas
siswa yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe Treffinger
F.
Definisi
Operasional
Berikut ini disajikan beberapa definisi operasional guna
menjelaskan beberapa istilah yang terdapat dalam judul penelitian.
a.
Pembelajaran
kreatif model Treffinger adalah suatu strategi pembelajaran yang dikembangkan
dari model belajar kreatif yang bersifat developmental dan mengutamakan
segi proses yang terdiri dari tiga tahap pembelajaran.
Berikut ini akan dijelaskan masing-masing tahap pembelajaran
tersebut.
1.
Tahap I (tahap
pengembangan fungsi-fungsi Divergen)
Pada tahap ini
penekanannya keterbukaan pada gagasan-gagasan baru dan berbagai kemungkinan
atau alternatif penyelesaian. Kegiatan-kegiatan pada tahap ini tidak mengarah
kepada ditemukannya satu jawaban yang benar tetapi ada sejumlah kemungkinan
jawaban dari penerimaan banyak gagasan dan jawaban yang berbeda. Teknik-teknik
ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan
gagasannya atau jawaban dalan memecahkan masalah.
2.
Tahap II (tahap
pengembangan berfikir dan merasakan secara lebih kompleks)
Pada tahap ini
penekanannya pada penggunaan gagasan dalam situasi kompleks disertai ketegangan
dan konflik. Siswa diajak untuk meluaskan pemikiran mereka dan berperan serta
dalam kegiatankegiatan yang lebih majemuk dan menantang serta mempersiapkan
siswa untuk menjadi mandiri dalam menghadapi masalah atau tantangan dengan cara
yang kreatif. Teknik-teknik yang digunakan pada tahap pengembangan berfikir dan
merasakan secara lebih kompleks serta cognitive conflict yang
menyertainya.
3.
Tahap III (tahap
Keterlibatan dalam tantangan nyata)
Pada tahap ini
penekanannya pada penggunaan proses berfikir dan merasakan secara kreatif untuk
memecahkan masalah secara bebas dan mandiri. Tujuan dari tahap keterlibatan
dalam tantangan nyata adalah menerapkan konsep tentang materi yang diajarkan.
Pada tahap ini, Siswa menggunakan kemampuan mereka dengan caracara yang
bermakna untuk kehidupannya. Siswa tidak hanya belajar keterampilan berfikir
kreatif, tetapi juga bagaimana menggunakan informasi ini dalam kehidupan
mereka.
b.
Kemampuan
Komunikasi Matematis
Kemampuan komunikasi matematis
adalah kemampuan siswa untuk:
a)
Mengekspresikan
konsep matematika dengan menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau
symbol matematika;
b)
Merefleksikan
ide-ide matematika ke dalam gambar dan bagan;
c)
Memberikan
jawaban dengan bahasa sendiri, membuat model situasi atau persoalan dalam
bentuk tertulis.
G.
Kegunaan
Penelitian
Adapun
manfaat penelitian ini diantaranya sebagai berikut :
1.
Pengalaman dan bekal bagi peneliti dalam mengajar matematika masa
mendatang, khususnya dalam penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe
Treffinger
2.
Sumbangan dan masukan bagi guru dan calon guru matematika dalam
upaya meningkatkan hasil dan kualitas belajar.
3.
Bahan informasi bagi mahasiswa ataupun guru-guru yang ingin
melakukan penelitian lebih lanjut.
BAB II
LANDASAN
TEORITIS
A. Kajian Teori
1. Pembelajaran Matematika.
Belajar adalah
proses perubahan tingkah laku individu yang relatif tetap sebagai hasil dari
pengetahuan. Sedangkan pembelajaran merupakan upaya penataan lingkungan yang
memberi nuansa agar program belajar tumbuh dan berkembang secara optimal.[6]
Peristiwa belajar
yang disertai dengan proses pembelajaran akan lebih terarah dan sistematik
daripada belajar yang hanya semata-mata dari pengalaman dalam kehidupan sosial
dan masyarakat. Belajar dengan proses pembelajaran ada peran guru, bahan ajar,
dan lingkungan kondusif yang sengaja diciptakan.
Pembelajaran tidak
terjadi seketika, melainkan sudah melalui tahap-tahap rancangan pembelajaran.
Guru merancang bahan ajar yang kemudian dilaksanakan dalam pembelajaran. Dalam
pembelajaran terjadi interaksi antara siswa dan guru, siswa dan siswa dalam
rangka perubahan setiap sikap dan pola pikir siswa mengenal suatu materi yang
diajarkan. Pembelajaran matematika adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru
untuk membantu siswa dalam mempelajari ilmu matematika.
Tujuan pembelajaran
matematika menurut garis-garis besar program pengajaran (GBPP) matematika
adalah :
a.
Mempersiapkan siswa
agar sanggup menghadapi perubahan keadaan dalam kehidupan dan di dunia yang
selalu berkembang melalui latihan, bertindak atas dasar pemikiran secara logis,
rasional, cermat, jujur, efektif dan efisien.
b.
Mempersiapkan siswa
agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan
sehari-hari dan dalam mempelajari ilmu pengetahuan.[7]
Berdasarkan tujuan di
atas tujuan pembelajaran matematika lebih menitik beratkan pada kesiapan siswa,
baik dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan maupun pengembangan pola
pikir siswa, sehingga siswa terampil dalam menerapkan konsep-konsep matematika
dalam kehidupan sehari-hari maupun pada saat mempelajari ilmu lain yang ada
hubungannya dengan matematika. Dengan demikian, pembelajaran berlangsung secara
sistematis dan efektif sehingga tujuan matematika itu sendiri tercapai secara
maksimal. Dalam pelaksanaannya, pembelajaran matematika melibatkan semua siswa
sehingga mereka dapat memahami materi secara menyeluruh, caranya dengan
menerapkan pembelajaran kooperatif tipe NHT dengan menggunakan kartu.
2. Pembelajaran Kooperatif.
Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran
dalam bentuk kelompok. Siswa belajar dalam kelompoknya dalam memecahkan
permasalahan yang berhubungan dengan materi yang sedang dipelajari. Ada
beberapa hal yang perlu dipenuhi dalam pembelajaran kooperatif agar lebih
menjamin para siswa bekerja secara kooperatif :
a.
Siswa yang tergabung
dalam suatu kelompok harus merasa bahwa mereka adalah bagian dari sebuah tim
dan mempunyai tujuan bersama yang harus dicapai.
b.
Para siswa yang
tergabung dalam sebuah kelompok harus menyadari bahwa masalah yang mereka
hadapi adalah masalah kelompok dan berhasil atau tidaknya kelompok itu akan
menjadi tanggung jawab bersama oleh seluruh anggota kelompok itu.
c.
Untuk mencapai hasil
yang maksimum, para siswa yang tegabung dalam kelompok itu harus berbicara satu
sama lain dalam mendiskusikan masalah yang dihadapinya.[8]
Karakteristik dari
pembelajaran kooperatif adalah :
a. Pembelajaran secara
tim
b. Didasarkan pada
manajemen kooperatif
c. Kemauan untuk
bekerjasama
d. Keterampilan
bekerjasama.
Pembelajaran
kooperatif memiliki tiga landasan teori,yakni:
a.
Teori Ausubel
Menurut Ausubel
bahan pelajaran yang dipelajari haruslah “bermakna“ (Meaning Full). Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses
mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam
struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif adalah fakta-fakta,
konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat
siswa. [9]
b.
Teori Piaget
Menurut Piaget
kegiatan pembelajaran harus melibatkan partisipasi peserta didik. pengetahuan
tidak hanya dipindahkan secara verbal tetapi harus dikonstruksi dan di
rekonstruksi peserta didik. Sebagai realisasi teori ini, maka dalam kegiatan
pembelajaran peserta didik haruslah bersifat aktif.[10]
c.
Teori Vygotsky
Vygotsky
mengemukakan pembelajaran merupakan suatu perkembangan pengertian. Ia
membedakan adanya dua pengertian, yaitu pengertian spontan dan pengertian
ilmiah. Pengertian spontan adalah pengertian yang diperoleh dari pengalaman
anak sehari – hari. Pengertian ilmiah adalah pengertian yang diperoleh dari
ruang kelas. Kualitas berfikir siswa dibangun didalam ruangan kelas, sedangkan
aktifitas sosialnya dikembangkan dalam bentuk kerja sama antara pelajar dengan
pelajar lainnya yang lebih mampu dibawah bimbingan orang dewasa dalam hal ini
guru.[11]
Dalam pembelajaran
kooperatif sistem penilaian dilakukan terhadap kelompok. Setiap kelompok akan
memperoleh penghargaan jika kelompok mampu menunjukkan prestasi yang
dipersyaratkan. Dengan demikian, setiap anggota kelompok akan mempunyai
ketergantungan positif. Ketergantungan semacam itulah yang selanjutnya akan
memunculkan tanggung jawab individu terhadap kelompok dan keterampilan interpersonal.
Setiap anggota kelompok akan saling bantu membantu, mereka akan mempunyai
motivasi untuk keberhasilan kelompok sehingga setiap individu akan memiliki
kesempatan yang sama untuk memberikan kontribusi demi keberhasilan kelompok.
Pembentukan kelompok
dalam pembelajaran kooperatif ini berdasarkan kemampuan akademik siswa kelompok
terdiri dari siswa yang berkemampuan tinggi, sedang dan rendah.
Tabel 2. Prosedur
Pengelompokan Hetererogenitas Berdasarkan Kemampuan Akademik
Langkah I
Mengurutkan
Siswa berdasarkan kemampuan
|
Langkah II
Membentuk kelompok pertama
|
Langkah III membentuk kelompok
selanjutnya
|
||||||||||||||||||||||
1.
AN
2.
NP
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
DW
12.
MR
13.
JL
14.
GW
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
RP
25.
AF
|
1.
AN
2.
NP
3.
4.
5.
MR AN
6.
7.
8.
AF JL
9.
10.
11.
DW
12.
MR
13.
JL
14.
GW
15.
S
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
RP
25.
AF
|
1.
AN
2.
NP
3.
4.
5.
6.
DW NP
7.
8.
9.
RP GW
10.
11.
DW
12.
MR
13.
JL
14.
GW
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
RP
25.
AF
|
Sumber : (Anita Lie, 2002 : 41)
Berdasarkan tabel di
atas siswa diurut mulai dari yang berkemampuan rendah ke yang tinggi. Kemudian
dilanjutkan dengan pembentukan kelompok yaitu kelompok I terdiri dari siswa
yang nomor urut 1, 25, 12, dan 13. Untuk kelompok selanjutnya dilakukan hal
yang sama.
3.
Model Belajar
Kreatif menurut Treffinger
Kreativitas merupakan salah satu kemampuan yang hendak ditingkatkan
dalam kebanyakan program anak berbakat. Untuk itu perlu ditumbuhkan suasana di
kelas yang menghargai dan memupuk kreativitas dalam semua segi. Tidak cukup
menyediakan waktu satu jam sehari untuk kreativitas, hal ini tidak akan
meningkatkan kemampuan kreatifitas siswa. Diperlukan pendekatan yang lebih
komperehensif untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan ini.
Treffinger mengemukakan bahwa model belajar kreatif yang
dikembangkan merupakan model yang bersifat developmental dan lebih
mengutamakan segi proses. Prinsip yang harus diperhatikan adalah perlunya
prasyarat kematangan pengetahuan dan penguasaan materi dalam mencapai tahap
pengembangan tertentu. Jadi, seorang siswa dapat mencapai tahap kemampuan
tertentu apabila kemampuan prasyaratnya sudah dikuasai.[12]
Apabila model ini diterapkan di Sekolah Menengah Pertama, maka
tahap keterlibatan dalam tantangan nyata belum menggambarkan keadaan yang
sebenarnya karena siswa belum banyak terlibat dalam tantangan nyata. Jadi,
pengetahuan mereka dalam kehidupan sehari-hari masih dianggap kurang cukup.
Namun yang terpenting adalah setiap tahap pengembangan mencerminkan
karakteristik kognitif dan afektif sebagaimana yang dirumuskan dalam gambar
model belajar kreatif menurut Treffinger berikut ini:
Gambar
2.1
Model untuk Mendorong Belajar Kreatif (Treffinger , 1980 )
4.
Pembelajaran
dengan Model Treffinger
Model Treffinger adalah suatu strategi pembelajaran yang
dikembangkan dari model belajar kreatif yang bersifat developmental dan
mengutamakan segi proses. Strategi pembelajaran yang dikembangkan oleh
Treffinger yang berdasarkan kepada model belajar kreatifnya[13]
Semiawan menyatakan Pembelajaran Kreatif Model Treffinger terdiri
dari tiga tahap pembelajaran. Berikut ini akan dijelaskan masingmasing tahap
pembelajaran tersebut.
a.
Tahap I (tahap
pengembangan fungsi-fungsi Divergen)
Pada tahap ini
penekanannya keterbukaan pada gagasan-gagasan baru dan berbagai kemungkinan
atau alternatif penyelesaian. Kegiatan-kegiatan pada tahap ini tidak mengarah
kepada ditemukannya satu jawaban yang benar tetapi ada sejumlah kemungkinan
jawaban dari penerimaan banyak gagasan dan jawaban yang berbeda. Tujuan dari
tahap pengembangan fungsi-fungsi divergen ini adalah mempersiapkan materi yang
akan diajarkan kepada siswa.
Teknik yang
dapat digunakan adalah (1) teknik pemanasan, yaitu memberikan
pertanyaan-pertanyaan terbuka yang menimbulkan minat dan merangsang rasa ingin
tahu siswa sehingga diperoleh gagasan sebanyak mungkin, (2) teknik pemikiran
dan perasaan berakhir terbuka, yaitu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
memberikan kesempatan timbulnya berbagai macam jawaban. (3) sumbang saran,
yaitu keterbukaan dalam memberikan gagasan, menerima dan menghasilkan banyak
gagasan. (4) daftar penulisan gagasan, yaitu penulisan gagasan yang dimiliki
siswa. (5) penyusunan sifat, yaitu suatu teknik yang digunakan untuk
menimbulkan banyak gagasan tentang suatu obyek atau masalah dan (6) hubungan
yang dipaksakan, yaitu memaksakan suatu hubungan antara objek-objek atau
situasi yang dimasalahkan dengann unsur-unsur lain untuk menimbulkan gagasan
baru[14].
Teknik-teknik ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengemukakan gagasannya atau jawaban dalan memecahkan masalah.
b.
Tahap II (tahap
pengembangan berfikir dan merasakan secara lebih kompleks)
Pada tahap ini
penekanannya pada penggunaan gagasan dalam situasi kompleks disertai ketegangan
dan konflik. Siswa diajak untuk meluaskan pemikiran mereka dan berperan serta
dalam kegiatan-kegiatan yang lebih majemuk dan menantang serta mempersiapkan
siswa untuk menjadi mandiri dalam menghadapi masalah atau tantangan dengan cara
yang kreatif. Tujuan dari teknik pada tahap ini adalah untuk memahami konsep
serta menambah wawasan dengan menghubungkan materi sebelumnya dan materi
selanjutnya.
Teknik-teknik
yang digunakan pada tahap pengembangan berfikir dan merasakan secara lebih
kompleks serta cognitive conflict yang menyertainya antara lain : (1)
analisis morfologis, yaitu bertujuan untuk mengidentifikasi ide-ide baru dengan
cara mengkaji secara cermat struktur masalah. (2) bermain peran dan sosial
drama, yaitu membantu siswa untuk menangani konflik dan masalah yang timbul
dari pengalaman kehidupannya. (3) synectics, yaitu mempertemukan bersama
berbagai unsur dengan menggunakan kiasan untuk memperoleh satu pandangan baru.
Pada tahap ini,
siswa dituntut untuk aktif dan terlibat dalam kegiatan mempelajari konsep yang
dilakukan dengan jalan memperlihatkan representasi konsep tersebut. Misalnya,
melalui kegiatan analisis morfologis dari suatu bentuk benda-benda konkret.
Menurut dalil penyusunan yang dikemukakan oleh Bruner berdasarkan hasil
pengamatannya, kegiatan seperti itu dapat melekatkan ide atau definisi tertentu
dalam pikiran siswa dan dapat meningkatkan pemahamannya terhadap ide atau
definisi tersebut. Oleh karena itu, kemampuan siswa dalam memahami suatu
masalah akan meningkat pada tahap ini.[15]
c.
Tahap III (tahap
Keterlibatan dalam tantangan nyata)
Pada tahap ini
penekanannya pada penggunaan proses berfikir dan merasakan secara kreatif untuk
memecahkan masalah secara bebas dan mandiri. Tujuan dari tahap keterlibatan
dalam tantangan nyata adalah menerapkan konsep tentang materi yang diajarkan.
Pada tahap ini,
Siswa menggunakan kemampuan mereka dengan cara-cara yang bermakna untuk
kehidupannya. Siswa tidak hanya belajar keterampilan berfikir kreatif, tetapi
juga bagaimana menggunakan informasi ini dalam kehidupan mereka. Pavlov berpendapat
bahwa pembiasaan (conditioning) dapat meningkatkan kemampuan siswa. Oleh
karena itu, kemampuan siswa dalam menyajikan masalah secara matematis,
menemukan kata kunci permasalahan, mengembangkan metode penyelesaian masalah
yang efektif dan menemukan solusi masalah yang tepat akan meningkat.[16]
Pembelajaran
matematika dengan menggunakan model Treffinger dilakukan dengan cara mengikuti
tahap-tahap yang telah dijelaskan di atas. Setiap tahap pembelajaran tersebut
harus diterapkan pada proses pembelajaran di kelas secara utuh dan
terintegrasikan. Strategi pembelajaran matematika dengan menggunakan model
Treffinger dapat diungkapkan seperti dalam tabel berikut ini:
Tabel
2.1
Strategi dan Teknik-Teknik Pembelajaran Kreatif Model Treffinger
Tahap
|
Kunci
Tugas
|
Kemampuan
yang diharapkan
|
Teknik
Pengajaran
|
1
|
Keterbukaananeka
gagasan baru, melihat sebanyak-banyaknya kemungkinan dan alternative untuk
mengkomunikasikan ide-ide matematis
|
·
Kognitif
-
Kelancaran
-
Kerincian kelenturan
-
Kognisi dan ingatan
-
Keaslian
·
Afektif
-
Ingin tahu
-
Mengambil resiko
-
Keterbukaan kepada pengalaman
-
Keinginan merespon
-
Kepekaan kepada masalah
-
Toleransi terhadap ambiguits
-
Kepercayaan diri
|
-
Pemanasan
-
Pemikiran/perasaan terbuka
-
Diskusi dan penundaan penilaian
-
Mendaftar gagasan
-
Penguatan hubungan
|
2
|
Penggunaan gagasan
kreatifitas dalam situasi kompleks, yang melibatkan proses pemikiran,
perasaan serta ketegangan dan konflik
|
·
Kognitif
-
Aplikasi
-
Keterampilan riset
-
Analisis dan sintesis
-
Transformasi
-
Evaluasi
-
Analogi
·
Afektif
-
Pengembangan nilai/kesadaran
-
Mengelola konflik yang kompleks
-
Relaksasi
-
Imajinasi
|
-
Analisis morfologis
-
Klarifikasi nilai
-
Sosio drama
-
Simulasi
-
Komunikasi matematis
-
Keterampilan
-
Riset
|
3
|
Penggunaan proses
perasaan dan
pemikiran kreatif
untuk
mengkomunikasika
n ide-ide
matematis
secara mandiri
|
·
Kognitif
-
Belajar mandiri dan penemuan
-
Pengarahan diri
-
Profesionalisme
-
Pengelolaan kemampuan
-
Pengembangan hasil
·
Afektif
-
Internalisasi nilai
-
Komitmen hidup produktif
-
Mengarah kepada aktualisasi diri
|
-
Proyek studi mandiri
-
Komunikasi matematis siswa
|
Berdasarkan model dan strategi pembelajaran kreativitas yang telah
dikemukakan di atas, Treffinger berpendapat bahwa yang menjadi kunci
keberhasilan adalah pembelajaran pada tahap pertama, yaitu pengembangan
fungsi-fungsi dan kemampuan dasar, baik kognitif maupun afektifnya[17].
Apabila fungsi-fungsi dan kemampuan dasar berhasil diperbaiki dan ditingkatkan,
maka sekitar 50% - 60% diantaranya berhasil pada tahap-tahap berikutnya.
Pembelajaran matematika dengan menggunakan Pembelajaran kreatif model
Treffinger dianggap dapat meningkatkan komunikasi matematis siswa karena
melatih siswa untuk mengungkapkan gagasannya secara kreatif yang pada akhirnya
siswa akan mampu menemukan cara yang paling efektif untuk memecahkan
sebuah masalah. Selain itu, model ini juga melibatkan aspek afektif
dalam pemecahan masalah yang membuat siswa dapat memahami situasi dan
kondisi dari suatu permasalahan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Pomalato terbukti bahwa pembelajaran kreatif model Treffinger dapat
meningkatkan kemampuan kreatifitas dan kemampuan pemecahan masalah
siswa.
Kelebihan dari Pembelajaran kreatif Model Treffinger adalah (a) didasarkan pada asumsi bahwa
kreatifitas adalah proses dan hasil belajar (b) dapat diterapkan kepada
semua siswa dengan berbagai latar belakang dan tingkat kemampuan (c)
mengintegrasikan dimensi kognitif dan afektif dalam pengembangannya (d)
melibatkan secara bertahap kemampuan berfikir konvergen dan divergen
dalam proses pemecahan masalah (e) memiliki tahapan pengembangan yang
sistematik dengan beragam metode dan teknik untuk setiap tahap yang
dapat diterapkan secara fleksibel.[18]
5.
Kemampuan
Komunikasi Matematis
Komunikasi melalui interaksi sosial memiliki peranan penting dalam
membina pengetahuan matematika siswa. Dikarenakan hal tersebut, guru harus
mewujudkan komunikasi yang berbentuk interaksi sosial di kalangan siswa dengan
siswa, siswa dengan guru dalam proses pembelajaran matematika. Dengan tindakan
tersebut guru dapat membantu siswa dalam meningkatkan dan memperbaiki
pengetahuan matematika yang telah terbina sebelumnya. Menurut Ginsburg &
Baron, suatu pendekatan yang dikatakan bermanfaat baik haruslah dapat
merangsang secara spontan minat dan keterlibatan siswa dalam pembelajaran dan
membantu mereka dalam mengembangkan dan melengkapi pengetahuan matematika yang
dimilikinya.
Koehler & Prior menegaskan bahwa interaksi antara guru dan
siswa adalah penting:
Most would agree that teaching and learning could occur without
texts, blackboards, or manipulatives, but we maintain that the
learning process would exist for only a very few students if classroom
interaction with teachers and peers were eliminated. Teacher-student
interactions are indeed the heartbeat of the teaching-learning process.
Pernyataan di atas menyatakan, banyak orang sependapat bahwa
pembelajaran dapat berjalan walaupun tanpa buku teks, papan tulis, atau bahan
manipulatif lainnya, akan tetapi proses pembelajaran seperti itu hanya berlaku
untuk sebagian kecil siswa jika interaksi di dalam kelas antara siswa dengan
guru, siswa dengan siswa lainnya dihapuskan. Interaksi antara siswa dengan guru
dan teman sebayanya merupakan ‘denyut nadi’ proses pengajaran dan pembelajaran.
Berdasarkan hal tersebut, interaksi sosial di antara guru dan siswa, siswa dan
siswa, secara individu atau kelompok merupakan salah satu proses komunikasi
yang harus diwujudkan dalam proses pembelajaran matematika.
Peranan komunikasi melalui interaksi sosial dalam membina dan
mengembangkan pengetahuan matematika siswa juga dikemukakan oleh Davidson bahwa
pembelajaran kooperatif atau pembelajaran secara berkelompok dapat membantu
mengatasi masalah siswa seperti perasaan kecewa, takut terhadap matematika,
menghindari matematika dan lain-lain. Davidson mengatakan:
a)
Kelompok-kelompok
kecil dapat memberi dukungan sosial untuk mempelajari matematika.
b)
Interaksi
kelompok dapat membantu setiap anggota kelompok dalam mempelajari konsep-konsep
dan strategi penyelesaian masalah.
c)
Dalam
berdiskusi siswa dapat menyampaikan pendapat atau menyanggah pendapat siswa
lain dengan argumen yang logis.
d)
Setiap siswa
memiliki kesempatan untuk menyampaikan dan mempertahankan pendapatnya dengan mengutarakan
kelebihan-kelebihan dari penyelesaian yang diberikannya.
e)
Setiap siswa
dalam kelompok dapat saling membantu antara satu dengan yang lain untuk
mempelajari dan memahami masalah-masalah yang sedang dipelajari.
f)
Setiap orang
dapat belajar melalui berbicara, mendengar, menerangkan, dan melakukan proses
berfikir, baik secara individu maupun secara berkelompok.
g)
Dalam kelompok,
siswa dapat mengatasi permasalahan yang mungkin tidak dapat diselesaikan secara
sendiri-sendiri.
Menurut
Abdulhak, komunikasi dimaknai sebagai proses penyampaian pesan dari pengirim
pesan kepada penerima pesan melalui saluran tertentu untuk tujuan tertentu.
Effendy mengartikan komunikasi secara implisit sebagai proses penyampaian suatu
pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau mengubah sikap,
pendapat, atau prilaku baik langsung secara lisan, maupun tak langsung melalui
media. Di lain pihak, Roger mengartikan komunikasi sebagai proses yang para
partisipan/ peserta saling berbagi informasi satu sama lain guna mencapai
pengertian timbal balik, Sedangkan Gerbner mengemukakan bahwa komunikasi adalah
interaksi sosial melalui simbol dan sistem penyampaian pesan dari satu pihak
kepada pihak lain agar terjadi pengertian bersama.
Dari
beberapa pengertian komunikasi di atas, terdapat satu kesamaan bahwa dalam
komunikasi harus terdapat beberapa faktor diantaranya: pemberi informasi
(komunikator), penerima informasi (komunikan) dan pesan/informasi itu sendiri.
Komunikasi merupakan wahana atau sarana untuk mengungkapkan perasaan, gagasan,
penemuannya pada orang lain saat berinteraksi. Dengan demikian pengertian
komunikasi adalah sebuah cara berbagi ide-ide dan pemahaman, maka melalui
komunikasi ide-ide direfleksikan, diperbaiki, didiskusikan dan diubah.
Greenes
dan Schulman menyatakan bahwa komunikasi matematika merupakan (1) kekuatan
sentral bagi siswa dalam merumuskan konsep dan strategi matematis, (2) modal
keberhasilan bagi siswa terhadap pendekatan penyelesaian dalam eksplorasi dan
investigasi matematis, (3) wadah bagi siswa dalam berkomunikasi dengan temannya
untuk memperoleh informasi, membagikan pikiran dan penemuan, curah pendapat,
menilai dan mempertajam ide untuk meyakinkan yang lain.
Menurut
NCTM kemampuan komunikasi matematis perlu dibangun dalam diri siswa agar dapat:
1)
Memodelkan situasi dengan lisan, tertulis, gambar, grafik, dan
secara aljabar.
2)
Merefleksikan dan mengklarifikasi dalam berpikir mengenai
gagasan-gagasan matematika dalam berbagai situasi.
3)
Mengembangkan pemahaman terhadap gagasan-gagasan matematika termasuk
peranan definisi-definisi dalam matematika.
4)
Menggunakan keterampilan membaca, mendengar, dan menulis untuk
menginterpretasikan dan mengevaluasi gagasan matematika.
5)
Mengkaji gagasan matematika melalui konjektur dan alasan yang
meyakinkan.
6)
Memahami nilai dari notasi dan peran matematika dalam pengembangan
gagasan matematika.
Sejalan dengan hal tersebut, Baroody menyebutkan sedikitnya ada dua
alasan penting mengapa komunikasi dalam pembelajaran matematika perlu
ditumbuhkembangkan di kalangan SMP. Pertama, mathematics as language,
artinya matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir, alat untuk
menemukan pola, menyelesaikan masalah atau mengambil kesimpulan, tetapi
matematika juga “an invaluable tool for communicating a variety of ideas
clearly, precisely, and succinctly”. Kedua, mathematics learning as
social activity, artinya sebagai aktivitas sosial dalam pembelajaran
matematika, matematika juga sebagai wahana interaksi antar siswa, dan juga
komunikasi antara guru dan siswa. Hal ini merupakan bagian penting untuk “nurturing
children’s mathematical potential”.
Komunikasi matematis berperan penting membantu siswa memahami
matematika maupun untuk mengungkapkan keberhasilan belajar siswa. Seperti
dikemukakan Lindquist bahwa jika kita sepakat bahwa matematika itu merupakan
suatu bahasa dan bahasa tersebut sebagai bahasan terbaik dalam komunitasnya,
maka mudah dipahami bahwa komunikasi merupakan esensi mengajar, belajar, dan
mengakses matematika. Pada saat pembelajaran matematika, komunikasi berperan efektif
dalam mengembangkan pengetahuan siswa. Dengan komunikasi yang baik, siswa dapat
merepresentasikan pengetahuanya sehingga bila terjadi salah konsep dapat segera
diantisipasi dan transfer ilmu pengetahuan terhadap siswa lainnya dapat
dilaksanakan.
Melihat begitu pentingnya komunikasi matematis dalam pembelajaran
matematika, NCTM (Helmaheri, 2004: 13) menyatakan bahwa program pengajaran
matematika di sekolah yang baik salah satunya adalah harus menekankan siswa
dalam menggunakan bahasa matematika untuk mengekspresikan ide-ide matematika
secara benar.
Menurut Ross (2004), Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk
melihat kemampuan komunikasi matematis tertulis adalah:
1.
Use multiple
representations to express mathematical concepts and solutions
2.
Represent
problem situations and express their solutions using pictorial, tabular,
graphical, and algebraic methods
3.
Use
mathematical language and symbolism appropriately
4.
Describe
situations mathematically by providing mathematical ideas and evidence in written
form;
5.
Present results
in written form
Seperti yang diungkapkan dari berbagai sumber di atas mengenai
pengertian komunikasi matematis siswa, maka indikator yang digunakan untuk
melihat kemampuan komunikasi matematis siswa pada penelitian ini adalah:
1)
Mengekspresikan
konsep matematika dengan menyatakan peristiwa seharihari dalam bahasa atau
symbol matematika.
2)
Merefleksikan
ide-ide matematika ke dalam gambar dan bagan.
3)
Memberikan
jawaban dengan bahasa sendiri, membuat model situasi atau persoalan dalam bentuk
tertulis.
6.
Pembelajaran
Konvensional
Pembelajaran Konvensional merupakan
pembelajaran yang dilakukan secara klasikal dengan metode ekspositori dan
pemberian tugas secara individu yang menggunakan komunikasi satu arah.
Menurut Nasution ciri – ciri pembelajaran
konvensional adalah:
a.
Tujuan tidak
dirumuskan secara spesifik.
b.
Kegiatan
instruksional kebanyakan berbentuk ceramah
c.
Pengalaman belajar
kebanyakan berbentuk ceramah
d.
Partisipasi murid
kebanyakan pasif.
e.
Kecepatan belajar
ditentukan oleh kecepatan guru mengajar.
f.
Penguasaan tidak
menyeluruh.
g.
Keberhasilan siswa
dinilai secara subjektif.[19]
Jadi dapat dikatakan bahwa pembelajaran
konvensional lebih menitikberatkan pada keaktifan guru. Pembelajaran
konvensional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pembelajaran yang biasa
dilaksanakan dengan metode Ekspositori.
Erman suherman mengemukakan bahwa pada
metode ekspositori dominasi guru banyak berkurang, karena tidak terus menerus
bicara, ia berbicara pada awal pembelajaran, menerangkan materi dan contoh-contoh
soal pada waktu-waktu yang diperlukan saja. Siswa tidak hanya mendengar dan
membuat catatan tetapi juga membuat soal latihan dan bertanya kalau tidak
mengerti. Guru dapat memeriksa pekerjaan siswa secara individu atau kelompok. [20]
Jadi dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
konvensional adalah pembelajaran yang sudah biasa dilaksanakan di sekolah-sekolah.
Pembelajaran konvensional ini merupakan pembelajaran yang paling mudah
dilaksanakan dan paling dominan dilaksanakan oleh guru – guru. Pelaksanaan pembelajaran
ini meliputi pembelajaran dengan metode ekspositori, tanya jawab, latihan, dan
pemberian tugas. Siswa belum diberikan kesempatan untuk membangun
pengetahuannya sendiri karena pembelajaran kmvensional ini cenderung
memfokuskan siswa kepada belajar mengajar, membuat latihan, mempersiapkan ujian
harian maupun ujian semester.
Tabel 4. Perbedaan pembelajaran
konvensional dengan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together
Model
pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together
|
Model
pembelajaran konvensional
|
1
|
2
|
1.
Siswa aktif
2.
Guru sebagai fasilitator
3.
Ada kelompok-kelompok kooperatif
4.
Ada interaksi yang baik antara siswa dengan
siswa, dan siswa dengan guru
5.
Pengetahuan didasarkan atas aspek kognitif,
afektif dan psikomotor
6.
Daya serap siswa lebih cepat dan bertahan lama
karena siswa tidak menghapal
|
1.
Siswa pasif
2.
Guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran
3.
Tidak ada kelompok-kelompok kooperatif
4.
Interaksi antara siswa dengan siswa, guru dengan
guru kurang
5.
Pengetahuan dilihat aspek kognitifnya saja
6.
Daya serap siswa rendah dan cepat hilang karena
bersifat menghapal
|
7.
Hasil Belajar
Hasil belajar adalah sesuatu yang diperoleh
setelah melakukan kegiatan pembelajaran. Hasil belajar terlihat dalam perubahan
tingkah laku siswa dari tidak tahu jadi tahu dan tidak mengerti menjadi
mengerti. Perubahan yang didapat setelah pembelajaran ini adalah perubahan
pengetahuan, pengalaman, keterampilan, nilai dan sikap atau dengan kata lain
meliputi ranah kognitif afektif dan psikomotor.
Belajar merupakan salah satu kegiatan bagi
setiap orang, terutama siswa. Terjadinya perubahan tingkah laku dalam waktu
relatif lama yang disertai dengan usaha seseorang sehingga dari tidak mampu
menjadi mampu mengerjakan. Tanpa usaha walaupun terjadi perubahan tingkah laku,
bukanlah belajar. Perubahan tingkah laku itu disebut hasil belajar.[21]
Sedangkan suatu proses belajar ditandai dengan
adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan ini ditunjukkan dalam berbagai
bentuk serta pengetahuan, kemampuan daya kreasi dan lain-lain, perubahan yang
terjadi disebut hasil belajar.[22]
Hasil belajar merupakan tolak ukur yang digunakan untuk menentukan
tingkat keberhasilan siswa didalam mengetahui dan memahami suatu mata
pelajaran. Disamping itu hasil belajar hendaklah bermanfaat dalam kehidupan
sehari-hari. Jika hasil belajar tidak bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari,
ini merupakan sesuatu yang tidak berguna dan merupakan hasil belajar yang semu
belaka.
8.
Aktivitas Belajar
Prinsip belajar pada dasarnya adalah melakukan
aktivitas, sebagaimana yang dikemukakan Sadirman. A. M bahwa setiap orang yang
belajar harus aktif, tanpa adanya aktivitas maka proses belajar tidak mungkin
terjadi. [23]
Berdasarkan pendapat tersebut, aktivitas
merupakan hal yang paling penting dalam belajar matematika. Aktivitas belajar
matematika yang dimaksud adalah aktivitas yang dilakukan siswa secara individu
atau berkelompok untuk menyelesaikan permasalahan matematika atau untuk
menemukan konsep dasar matematika.
Aktivitas siswa dalam kelas dapat dilihat dari
partisipasi siswa terhadap proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Dalam
proses belajar mengajar, aktivitas siswa terlahir karena adanya motivasi dan
dorongan oleh sebab itu, guru harus berupaya untuk membimbing siswa agar dapat
beraktivitas secara maksimal.
Paul B Diedrich
dalam Sadirman membuat daftar yang berisi 177 macam kegiatan yang antar lain
dapat digolongkan sebagai berikut:
a.
Visual activities (aktivitas melihat), seperti : membaca,
memperhatikan gambar demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang lain.
b.
Oral activities (aktivitas membaca), seperti :
menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat,
mengadakan wawancara, diskusi, interupsi.
c.
Listening activities (aktivitas mendengar), seperti :
mendengarkan uraian, percakapan, diskusi, music, pidato.
d.
Writing activities (aktivitas menulis), seperti : menulis
cerita, karangan, laporan, angket, menyalin.
e.
Drawing activities (kegiatan menggambar), seperti :
menggambar, membuat grafik, peta, diagram.
f.
Mental activities (aktivitas mental), seperti : menanggapi,
mengingat, memecahkan soal, menganalisa, membuat hubungan, mengambil keputusan.
g.
Emotional activities (aktivitas emosional), seperti menaruh
minat, merasa bosan, gembira, bergairah, berani, tenang, gugup.[24]
Dalam proses pembelajaran di kelas, semua
aktivitas ini saling mendukung satu sama lain. Jika siswa aktif dalam belajar
maka tujuan pembelajaran akan mudah tercapai.
Setelah disesuaikan dengan model pembelajaran kooperatif tipe
Treffinger maka aktivitas yang akan diamati dalam penelitian ini adalah:
Tabel 5. Indikator aktivitas siswa yang akan
diamati
No
|
Indikator aktivitas
|
Aktivitas yang
diamati
|
1
|
Oral activities
|
Siswa bertanya dan mengemukakan pendapat
dalam diskusi
|
2
|
Mental activities
|
Siswa menjawab pertanyaan
|
3
|
Emotional
activities
|
Siswa serius selama proses pembelajaran
dengan memusatkan perhatian pada penjelasan yang sedang disampaikan oleh
teman dan guru.
|
4
|
Writing
activities
|
Siswa menyalin dan melengkapi catatan
|
B. Kerangka Konseptual
Pembelajaran
matematika bertujuan untuk mengembangkan pola pikir dan penalaran siswa dengan
berfikir secara logis, rasional, cermat jujur, efektif dan efisien dalam
menghadapi suatu masalah. Pengembangan penalaran dan pola pikir siswa dapat
dilakukan dengan membiasakan siswa menyelesaikan berbagai masalah-masalah
matematika yang berhubungan dengan materi yang dibahas. Penerapannya dapat
berupa mengerjakan latihan-latihan dalam memecahkan soal-soal yang beraneka
ragam tingkat kesulitannya mengenai materi yang dipelajari.
Pembelajaran
kooperatif dengan menggunakan kartu ini siswa akan dihadapkan dengan soal yang
beraneka ragam tingkat kesulitannya. Dengan soal yang bervariasi dapat
memperkaya pemahaman siswa mengenai materi yang diajarkan. Selain itu kartu soal
dirancang semenarik mungkin sehingga siswa tertarik untuk mengerjakan soal yang
diberikan.
Pembelajaran
dilaksanakan dalam bentuk diskusi kelompok. Siswa harus mampu bekerjasama
dengan anggota kelompok untuk membuat temannya paham dan mengerti terhadap
masalah yang ada dalam kartu tersebut, dengan demikian siapa saja yang ditunjuk
dapat mempresentasikan hasil diskusi dengan baik dan siswa akan lebih aktif
dalam proses pembelajaran dan lebih faham dengan konsep-konsep mengenai materi
yang sedang dipelajari. Dengan demikian diharapkan penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe Treffinger dengan menggunakan kartu dapat meningkatkan
aktivitas dan hasil belajar siswa. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada skema kerangka konseptual berikut:
C. Hipotesis
Berdasarkan kajian teori dan untuk menjawab pertanyaan pada rumusan
masalah, maka hipotesis pada penelitian ini adalah : “ Hasil belajar dan komukimasi matematis siswa yang diajar dengan model
kooperatif tipe Treffinger lebih baik dari hasil belajar siswa yang diajar
dengan metode konvensional “
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen yaitu “suatu penelitian yang tujuannya untuk menyelidiki kemungkinan
saling hubungan sebab-akibat dengan cara mengenakan kepada satu atau lebih
kelompok eksperimental, satu atau lebih kondisi perlakuan dan memperbandingkan
hasilnya dengan satu atau lebih kelompok kontrol yang tidak dikenai kondisi
perlakuan”.[25] Jenis rancangan
penelitian ini adalah “Randomized
Control Group Only Design“. Dalam penelitian ini peneliti mengambil satu
kelas sebagai kelas eksperimen dan satu kelas sebagai kelas kontrol. Bentuk
rancangan penelitiannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 6 . Rancangan Penelitian
|
Treatment
|
Postest
|
Experiment Group
|
Pembelajaran
dengan model NHT
|
Tes akhir
|
Control Group
|
-
|
Tes akhir
|
Pada penelitian ini
pada kelompok eksperimen diberikan perlakuan yaitu pembelajaran dengan
menggunakan model Treffinger, sedangkan pada kelompok kontrol tidak diberikan
perlakuan seperti kelompok eksperimen, pada kelompok ini kegiatan pembelajaran
dilaksanakan seperti biasa. Untuk melihat dampak penggunaan model Treffinger terhadap
hasil belajar siswa diberikan tes akhir dengan soal yang sama, kemudian
hasilnya dibandingkan.
B. Populasi dan Sampel
1.
Populasi
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII MTsN Limbanang
tahun ajaran 2012/ 2013. Jumlah siswa
kelas VIII MTsN Bukit Bunian Bukareh pada tahun ajaran 2012 / 2013
adalah sebagai berikut:
Tabel 7. Data Jumlah Siswa MTsN Limabanang Pada Tahun Ajaran 2012 / 2013
Kelas
|
Jenis
|
||
Lk
|
Pr
|
Jumlah
|
|
VIII - A
|
11
|
13
|
24
|
VIII - B
|
10
|
12
|
22
|
VIII - C
|
9
|
13
|
22
|
Jumlah
|
30
|
38
|
68
|
Sumber
Data : Kantor Tata Usaha MTsN Limbanang
2.
Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi, segala
karakteristik populasi tercermin dalam sampel yang diambil. Agar sampel dapat
mewakili dan menggambarkan sifat serta karakteristik dari populasi, maka perlu
dilakukan langkah-langkah:
a.
Mengumpulkan data nilai ujian harian matematika
kelas VIII MTsN Limbanang tahun ajaran 2012/ 20132 kemudian di hitung
rata-rata dan simpangan bakunya.
b.
Melakukan uji normalitas populasi terhadap nilai ujian harian matematika kelas VIII yang bertujuan untuk
mengetahui apakah populasi tersebut berdistribusi normal atau tidak
Hipotesis yang
diajukan adalah:
H0 =
Populasi berdistribusi normal.
H1 =
Populasi berdistribusi tidak normal
Untuk melihat sampel
berdistribusi normal, digunakan uji Liliefort dengan langkah-langkah seperti
yang dikemukakan oleh Nana Sudjana sebagai berikut:
1)
Data X1,X2,X3,…….,Xn
diperoleh dan disusun dari data yang terkecil sampai yang terbesar.
2)
Mencari skor baku
dari skor mentah dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Zi =
Dimana :
S
= Simpangan Baku
= Skor Rata - rata
Xi = Skor dari tiap soal
3)
Dengan menggunakan
daftar distribusi normal baku, kemudian dihitung peluang F (Zi) = P
( P Zi )
4)
Menghitung jumlah
proporsi skor baku yang lebih baku, atau
sama Zi yang dinyatakan
dengan S ( ) dengan menggunakan rumus:
S ( Zi ) =
5)
Menghitung selisih F
( Zi ) – S ( Zi ), kemudian ditentukan nilai mutlaknya.
6)
Ambil harga mutlak
yang terbesar dari harga mutlak selisih. Harga mutlak selisih diberi symbol
Lo. Lo = maks .
7)
Bandingkan nilai Lo
yang diperoleh dengan nilai Lo yang ada pada tabel. Pada taraf 0,05 jika Lo Ltabel maka Hoditerima. Dari
hasil analisis data pada taraf nyata = 0,05 terlihat bahwa Lo L tabel maka Ho diterima.
Berarti data tersebut berasal dari popilasi yang berdidtribusi normal.[26]
c.
Melakukan uji Homogenitas varians dengan menggunakan uji Bartlet.
Uji ini bertujuan
untuk melihat apakah populasi mempunyai variansi yang homogen atau tidak.
Hipotesis yang diajukan yaitu :
Ho = Populasi
mempunyai varians yang sama
H1 = populasi mempunyai varians yang tidak
sama
Untuk menentukan uji
Homogenitas, dilakukan beberapa langkah yang dikemukakan oleh Nana Sudjana
sebagai berikut:
1)
Hitung k buah ragam
contoh S1,S2,…Sk dari contoh – contoh
berukuran n1,n2,…,nk dengan N = Si
2)
Dari dugaan gabungan
tentukan nilai peubah acak yang mempunyai nilai sebesaran Bartlet:
b =
dengan kriteria pengujian sebagai
berikut:
Jika b bk ( a ; n ) berarti homogen
Jika b bk ( a ; n
)berarti tidak homogen.[27]
d.
Melakukan uji kesamaan rata-rata dengan menggunakan uji analisis
variansi. Uji ini menggunakan teknik anava satu arah dengan langkah sebagai
berikut:
Langkah - untuk
melihat kesamaan rata-rata populasi yaitu :
1)
Tuliskan hipotesis
statistik yang diajukan
Ho : 1 = 2
H1 : Sekurang – kurangnya dua rata – rata yang
tidak sama
2)
Tentukan taraf
nyatanya ( )
3)
Tentukan wilayah
kritiknya dengan menggunakan rumus:
f
4)
Tentukan perhitungan
melalui tabel
Tabel 8. Data
Hasil Belajar Siswa Kelas Populasi
|
Populasi
|
|
|||
1
|
2
|
3
|
K
|
||
|
X11
X12
…
X1n
|
X21
X22
…
X2N
|
X31
X32
…
X3n
|
XK1
XK2
…
XKn
|
|
Total
|
T1
|
T2
|
T3
|
Tk
|
T…
|
Nilai
|
1
|
2
|
3
|
k
|
|
Perhitungan
dengan menggunakan rumus :
Jumlah kuadrat Total ( JKK ) =
Jumlah kuadrat untuk nilai tengah kolom
( JKK )
Jumlah kuadrat galat ( JKG ) JKT JKK
Masukkan data hasil perhitungan kedalam
tabel berikut:
Tabel 9. Analisis
Ragam Bagi Data Hasil Belajar Siswa Kelas Populasi
Sumber keragaman
|
Jumlah kuadrat
|
Derajat bebas
|
Kuadrat tengah
|
f hitung
|
Nilai tengah kolom
|
JKK
|
K 1
|
|
|
Galat
|
JKG
|
N K
|
|
|
Total
|
JKT
|
N 1
|
|
|
5)
Keputusannya:
Diterima Ho jika f f ( k 1, N K )
e.
Mengambil dua kelas secara acak, satu kelas sebagai kelas
eksperimen dan satu kelas sebagai kelas kontrol.
C. Variabel dan Data
1.
Variabel
Variabel dapat diartikan sebagai ciri dari
individu, objek, gejala, atau peristiwa yang dapat diukur secara kualitatif maupun
kuantitatif.
Adapun yang menjadi variabel dalam penelitian
ini adalah:
a.
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi variabel lain,
yaitu berupa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe treffinger dengan menggunakan kartu ( X).
b.
Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel
bebas yaitu hasil belajar siswa ( Y ).
c.
Variabel perantara adalah variabel yang secara teoritis
mempengaruhi hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat tetapi tidak
dapat dilihat dan diukur yaitu aktivitas siswa
2. Data
a.
Jenis data
Data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
1)
Data primer yaitu data yang
langsung dikumpulkan oleh peneliti dari sumber-sumbernya. Data primer dalam
penelitian ini adalah hasil belajar dan aktivitas siswa yang diperoleh setelah
mengadakan eksperimen.
2)
Data sekunder yaitu data yang
telah tersusun dalam dokumen-dokumen atau data yang telah diarsipkan. Data
sekunder dalam penelitian ini adalah nilai ujian harian
matematika kelas VIII semester 1, dan data tentang jumlah siswa pada kelas
sampel beserta namanya masing-masing.
b.
Sumber data
Sumber data dalam
penelitian ini adalah :
1)
Data primer
Data primer
bersumber dari siswa kelas VIII MTsN Limbanang yang menjadi sampel dalam
penelitian ini.
2)
Data sekunder
Data sekunder dalam
penelitian ini bersumber dari Tata Usaha dan guru bidang studi matematika MTsN
Limbanang
D. Instrumen Penelitian
1.
Tes Hasil Belajar
Tes akhir ini diberikan kepada kelas eksperimen
dan kelas kontrol setelah pokok bahasan selesai dipelajari. Soal tes ini dibuat
dalam bentuk essay.
Sebelum soal-soal ini diberikan, terlebih
dahulu soal divalidasi, dicari reliabelitasnya, indeks pembeda dan indeks
kesukarannya.
a.
Validitas
Tes dikatakan valid
jika dapat mengukur apa yang hendak diukur. Sebutir item dapat
dikatakan telah memiliki validitas yang tinggi jika skor pada butir item yang
bersangkutan memiliki kesesuaian atau kesejajaran arah dengan skor totalnya. Validitas tes yang digunakan adalah validitas isi untuk melihat apakah tes
tersebut sesuai dengan kurikulum dan bahan pelajaran yang telah diajarkan. Tes
tersebut terlebih dahulu divalidasi oleh dosen dan guru mata pelajaran,
kemudian diperbaiki lalu diujicobakan.
Untuk menentukan
validitas tes essay dapat digunakan rumus korelasi product moment yaitu:
Rxy
Keterangan:
Rxy
: Koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y
N : Jumlah testee
∑ XY : Jumlah
perkalian antara skor item dan skor total
∑ X : Jumlah
skor item
∑ Y : Jumlah
skor total
Koefisien korelasi
selalu terdapat antara -1,00 sampai +1,00. Namun karena menghitung sering
dilakukan pembulatan angka – angka, sangat mungkin diperoleh koefisien lebih
dari 1,00. Koefisien negatif menunjukkan hubungan kebalikan sedang koefisien
positif menunjukkan adanya kesejajaran. Untuk mengadakan interpretasi mengenai
besarnya koefisien korelasi adalah sebagai berikut:
1)
Antara 0,800 sampai dengan
1,000 : sangat tinggi
2)
Antara 0,600 sampai dengan
0,800 : tinggi
3)
Antara 0,400 sampai dengan
0,600 : cukup
4)
Antara 0,200 sampai dengan
0,400 : rendah
5)
Antara 0,000 sampai dengan
0,200 : sangat rendah
b.
Reliabilitas
Suatu tes dapat
dikatakan mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi jika tes tersebut dapat
memberikan hasil yang tetap. Maka pengertian reliabelitas tes, berhubungan
dengan ketetapan hasil tes. Kata reliabelitas dalam bahasa Indonesia diambil
dari kata reliability dalam bahasa Inggris, yang berasal dari kata reliable
yang artinya dapat dipercaya. Tes dapat dipercaya jika memberikan hasil yang
tetap apabila diteskan berkali-kali. Sebuah tes dikatakan reliable jika hasil
tes tersebut menunjukkan ketetapan.
Rumus yang digunakan
untuk menentukan nilai reliabelitas tes essay adalah:[29]
( 1)
Keterangan :
: Koefisien
reliabelitas
: Banyak item yang dikeluarkan dalam tes
: Jumlah varian total
: Varian total
0,80 1,00 Reliabilitas sangat tinggi
0,60 0,79 Reliabilitas tinggi
0,40 0,59 Reliabilitas sedang
0,20 0,39 Reliabilitas rendah
0,00 0,19 Reliabilitas sangat rendah
c.
Indeks pembeda ( IP )
Daya pembeda item
adalah kemampuan suatu butir item hasil belajar untuk dapat membedakan antara
testee yang berkemampuan tinggi dengan testee yang berkemampuan rendah,
sedemikian rupa sehingga sebagian besar testee yang memiliki kemampuan tinggi
untuk menjawab butir item tersebut lebih banyak yang menjawab betul, sementara
testee yang kemampuanya rendah sebagian besar tidak mampu menjawab item dengan betul.
Daya pembeda soal
ditentukan dengan mencari indeks pembeda soal atau discrimination index of a test item. Indeks pembeda soal adalah
angka yang menunjukkan perbedaan kelompok tinggi (HG) dan kelompok rendah (LG).
Cara untuk
menghitung indeks pembeda soal adalah sebagai berikut:
1)
Data diurutkan dari nilai tertinggi sampai nilai terendah.
2)
Ambil 27% dari kelompok yang mendapat nilai tinggi dan 27% dari
kelompok yang mendapat nilai rendah.
Untuk
menentukan indeks pembeda dari soal essay digunakan rumus :
Ip
Keterangan :
Ip : Indeks
pembeda soal
Mt : Rata-rata
skor dari kelompok tinggi
Mr : Rata
-rata skor dari kelompok redah
: Jumlah
kuadrat deviasi dari kelompok tinggi
: Jumlah
kuadrat deviasi dari kelompok rendah
Adapun kriteria
tingkat pembeda soal berdasarkan indeks pembeda adalah :
0,4 1 Baik sekali ( sangat berarti )
0,3 0,39 Baik ( berarti )
0,2 0,29 Sedang ( direvisi )
0 0,19 Jelek ( dibuang )
Ditinjau dari
keseluruhan soal ( tes ), tes dibuat signifikan atau berarti jika:
50% dari jumlah soal
tersebut Ip 0,40
40% dari jmlah soal
tersebut 0,20 Ip 0,40
10% dari jumlah soal
tersebut 0,10 Ip 0,19 serta tidak ada soal yang Ip nya negatif.
d.
Indeks kesukaran ( IK )
Bermutu atau
tidaknya butir butir item tes hasil belajar pertama–tama dapat diketahui dari
derajat kesukaran atau taraf kesulitan yang dimiliki oleh masing-masing butir
tersebut. Butir-butir tes hasil belajar dapat dinyatakan sebagai butir-butir
item yang baik, apabila butir-butir item tersebut tidak terlalu sukar dan tidak
pula terlalu mudah, dengan kata lain derajat kesukaran item itu adalah sedang
atau cukup.
Bertitik tolak dari
pernyataan di atas maka butir-butir item tes hasil belajar dimana seluruh testee
tidak dapat menjaab dengan betul (mungkin karena terlalu sukar ) tidak dapat
disebut sebagai item yang baik. Demikian pula sebaliknya, butir-butir item tes
hasil belajar dimana seluruh testee dapat menjawab dengan betul (mungkin
terlalu mudah) juga tidak dapat dimasukkan kedalam kategori item yan baik.
Untuk menentukan
indek kesukaran dari soal essay digunakan rumus:
Ik 100%
Keterangan:
Ik
: Indeks
kesukaran tes
Dt
: Jumlah
skor kelompok tinggi
Dr : Jumlah
skor kelompok rendah
M : Skor
setiap soal jika benar
N : 27% dari peserta tes
Adapun kriteria
tingkat kesukaran soal essay berdasarkan indeks kesukaran:
Ik
27%
Sukar
27% Ik 73% Sedang
2. Lembar Observasi
Lembar observasi yang akan digunakan dalam penelitian ini berdasarkan
kepada indikator aktivitas dan
nantinya akan divalidasi oleh beberapa validator. Lembar observasi ini
digunakan untuk memperoleh informasi tentang aktivitas siswa selama proses
pembelajaran model kooperatif tipe Treffinger berlangsung. Aktifitas yang diamati
dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 10. Aktivitas yang akan diamati
No
|
Indikator aktifitas
|
Aktifitas yang diamati
|
1
|
Oral activities
|
Siswa mengajukan pendapat
Siswa
mengemukakan pendapat dalam diskusi
|
2
|
Mental activities
|
Siswa menjawab
pertanyaan
|
3
|
Emotional activities
|
Siswa serius
selama proses pembelajaran dengan memusatkan perhatian pada penjelasan yang
sedang disampaikan oleh teman dan guru.
|
4
|
Writing activities
|
Siswa menyalin
dan melengkapi catatan
|
E. Prosedur Penelitian
Proses pengumpulan
data dalam penelitian ini adalah :
1. Tahap persiapan
a.
Menentukan jadwal penelitian
b.
Menetapkan sampel penelitian dengan cara random sampling yaitu
setiap kelas mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel.
c.
Merancang dan menvalidasi tes hasil belajar dan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran oleh beberapa validator.
d.
Uji coba tes hasil belajar.
e.
Mempersiapkan lembar observasi.
f.
Mempersiapkan observer.
g.
Mempersiapkan perangkat pembelajaran
2.
Tahap pelaksanaan.
Pada tahap ini
peneliti melaksanakan pembelajaran matematika dengan model kooperatif tipe Treffinger dengan
menggunakan kartu pada kelas eksperimen dan melakukan pembelajaran seperi biasa
pada kelas kontrol. Sebelum melaksanakan pembelajaran di kelas eksperiment,
terlebih dahulu dibagi kelompok berdasarkan tingkat akademiknya.
Tabel 11 :
langkah-langkah Pembelajaran pada Kelas Sampel
Tahap
|
Kunci
Tugas
|
Kemampuan
yang diharapkan
|
Teknik
Pengajaran
|
1
|
Keterbukaananeka
gagasan baru, melihat sebanyak-banyaknya kemungkinan dan alternative untuk
mengkomunikasikan ide-ide matematis
|
·
Kognitif
-
Kelancaran
-
Kerincian kelenturan
-
Kognisi dan ingatan
-
Keaslian
·
Afektif
-
Ingin tahu
-
Mengambil resiko
-
Keterbukaan kepada pengalaman
-
Keinginan merespon
-
Kepekaan kepada masalah
-
Toleransi terhadap ambiguits
-
Kepercayaan diri
|
-
Pemanasan
-
Pemikiran/perasaan terbuka
-
Diskusi dan penundaan penilaian
-
Mendaftar gagasan
-
Penguatan hubungan
|
2
|
Penggunaan gagasan
kreatifitas dalam situasi kompleks, yang melibatkan proses pemikiran,
perasaan serta ketegangan dan konflik
|
·
Kognitif
-
Aplikasi
-
Keterampilan riset
-
Analisis dan sintesis
-
Transformasi
-
Evaluasi
-
Analogi
·
Afektif
-
Pengembangan nilai/kesadaran
-
Mengelola konflik yang kompleks
-
Relaksasi
-
Imajinasi
|
-
Analisis morfologis
-
Klarifikasi nilai
-
Sosio drama
-
Simulasi
-
Komunikasi matematis
-
Keterampilan
-
Riset
|
3
|
Penggunaan proses
perasaan dan
pemikiran kreatif
untuk
mengkomunikasika
n ide-ide
matematis
secara mandiri
|
·
Kognitif
-
Belajar mandiri dan penemuan
-
Pengarahan diri
-
Profesionalisme
-
Pengelolaan kemampuan
-
Pengembangan hasil
·
Afektif
-
Internalisasi nilai
-
Komitmen hidup produktif
-
Mengarah kepada aktualisasi diri
|
-
Proyek studi mandiri
-
Komunikasi matematis siswa
|
Kelas Eksperimen
|
Kelas Kontrol
|
1
|
2
|
Pendahuluan
1.
Guru menyampaikan apersepsi dan motivasi kepada
siswa.
2.
Guru menyampaikan
indikator dan tujuan pembelajaran serta kegiatan siswa dalam proses
pembelajaran.
Kegiatan inti
Keterbukaananeka gagasan baru, melihat
sebanyak-banyaknya kemungkinan dan alternative untuk mengkomunikasikan
ide-ide matematis
1
Penggunaan
gagasan kreatifitas dalam situasi kompleks, yang melibatkan proses pemikiran,
perasaan serta ketegangan dan konflik
Penggunaan proses perasaan
dan
pemikiran kreatif untuk
mengkomunikasika ide-ide matematis secara
mandiri
Guru mengadakan kuis individual dan membuat skor
perkembangan tiap siswa
Mengumumkan hasil kuis dan memberikan penghargaan
|
Pendahuluan
1.
Guru menyampaikan apersepsi dan motivasi kepada
siswa.
2.
Guru menyampaikan indikator dan tujuan
pembelajaran serta kegiatan siswa dalam proses pembelajaran.
Kegiatan inti
Guru memberikan materi inti secara
klasikal.
Guru memberikan contoh soal dan membahas bersama
siswa
2
Guru memberikan latihan kepada siswa
Guru membimbing
siswa mengerjakan latihan.
Guru memberikan
penekanan konsep dan membahas soal-soal yang dirasakan sulit.
Guru mengumpulkan
latihan yang telah dikerjakan siswa.
|
Kesimpulan
Guru membimbing
siswa membuat kesimpulan dan memberikan pekerjaan rumah.
|
Kesimpulan
Guru membimbing
siswa membuat kesimpulan dan memberikan pekerjaan rumah
|
3.
Tahap penyelesaian
Pada tahap ini
peneliti akan memberikan tes akhir untuk melihat hasil belajar siswa. Tes
diberikan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, kemudian dilakukan analisis
untuk uji hiopotesis.
F. Teknik Analisa Data
1. Tes Hasil belajar
Setelah tes akhir
dikumpulkan, peneliti melakukan
tahapan-tahapan seperti berikut:
a.
Uji normalitas
Melakukan uji
normalitas populasi terhadap nilai ujian akhir matematika kelas VIII yang
bertujuan untuk mengetahui apakah populasi tersebut berdistribusi normal atau
tidak
Hipotesis
yang diajukan adalah:
H0=Populasi
berdistribusi normal.
H1=Populasi
berdistribusi tidak normal
Untuk melihat sampel
berdistribusi normal,digunakan uji Liliefort dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
1)
Data X1,X2,X3,…….,Xn
diperoleh dan disusun dari data yang terkecil sampai yang terbesar.
2)
Mencari skor baku
dari skor mentah dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Zi =
Dimana :
S = Simpangan Baku
= Skor Rata - rata
Xi
= Skor dari tiap soal
3)
Dengan menggunakan
daftar distribusi normal baku, kemudian dihitung peluang F (Zi) = P
( P Zi )
4)
Menghitung jumlah
proporsi skor baku yang lebih baku, atau
sama Zi yang dinyatakan
dengan S ( ) dengan menggunakan rumus:
S ( Zi ) =
5)
Menghitung selisih F
( Zi ) – S ( Zi ), kemudian ditentukan nilai mutlaknya.
6)
Ambil harga mutlak
yang terbesar dari harga mutlak selisih. Harga mutlak selisih diberi symbol L0.
L0 = maks .
7)
Bandingkan nilai L0
yang diperoleh dengan nilai Lo yang ada pada tabel. Pada taraf 0,05 jika Lo Ltabel maka Hoditerima. Dari
hasil analisis data pada taraf nyata = 0,05 terlihat bahwa Lo L tabel maka Ho diterima.
Berarti data tersebut berasal dari popilasi yang berdistribusi normal.[32]
b.
Uji homogenitas variansi
Menguji homogenitas variansi jika telah
didapatkan dua proporsi normal . dalam hal ini akan diuji Ho : dimana 1 dan 2 adalah simpanan baku dari masing – masing kelompok sampel. Rumus yang
digunakan untuk uji hipotesis ini adalah:[33]
F
Keterangan:
: Variansi terbesar
: Variansi
terkecil
F : Perbandingan antara variansi terbesar dengan
variansi terkecil.
Kriteria
pengujian adalah terima hipotesis Ho jika :
dimana
c.
Uji hipotesis
Setelah dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas, selanjutnya
dilakukan uji hipotesis. Uji hipotesis
bertujuan untuk melihat perbandingan hasil belajar kedua kelas sampel. Dengan
hipotesis yaitu:
Ho : : hasil belajar matematika siswa yang
mengikuti model pembelajaran kooperatif
tipe NHT dengan menggunakan kartu sama dengan hasil belajar siswa yang
mengikuti model pembelajaran konvensional
H1 : : hasil belajar matematika siswa yang
mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe NHT dengan menggunakan kartu lebih
baik dari hasil belajar matematika siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional.
Dimana adalah rata – rata kelompok kontrol.
Berdasarka uji normalitas dan uji homogenitas ada beberapa rumus untuk
menguji hipotesis yaitu :
1)
Apabila data berdistribusi normal
mempunyai variansi homogen maka uji statistik yang digunakan
adalah dengan rumus:[34] t dengan
Dimana:
: Nilai
rata – rata kelas eksperiment
: Nilai
rata – rata kelas kontrol
: Variansi
hasil belajar kelas eksperimen
: Variansi
hasil belajar kelas eksperimen
: Simpangan baku
: Jumlah
siswa kelas eksperimen
: Jumlah
siswa kelas kontrol
Kriteria :
Terima Ho jika
dengan dk selain itu Ho ditolak.
2)
Jika sampel berdistribusi normal dan
kedua kelompok sampel tidak mempunyai variansi homogen, maka uji statistik yang
digunakan adalah[35] :
t=
Kriteria pengujinya
adalah :
Tolak hipotesis Ho
jika t > dan
Terima Ho jika t
<
Dengan :
2. Lembar Observasi
Data aktifitas yang diperoleh melalui lembar obsevasi dianalisis dengan
menggunakan rumus presentase yaitu :
P = 100%
Keterangan:
P = Persentase aktifitas
F = Frekuensi aktifitas yang
dilakukan
N = Jumlah Siswa[36]
Menurut Mudjiono dan Dimyati kriteria penilaian aktifitas dalam proses
pembelajaran adalah sebagai berikut :
a) Jika presentase
penilaian aktifitas adalah 1% - 25% maka aktifitas tergolong sedikit.
b) Jika presentase
penilaian aktifitas adalah 26% - 50% maka aktifitas tergolong sedikit
c) Jika presentase
penilaian aktifitas adalah 51% - 75% maka aktifitas tergolong banyak
d) Jika presentase
penilaian aktifitas adalah 76% - 100% maka aktifitas tergolong banyak sekali.[37]
Presentase aktifitas belajar dipantau setiap kali pertemuan, sehingga
dapat diketahui bagaimana perkembangan aktifitas siswa selama pembelajaran
Model Kooperatif Tipe Treffinger.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian, (Jakarta : Rineka Cipta, 2006)
Departemen AgamaRI,
AL-Qur’an dan Terjemahan(Bandung: CV Diponegoro, 2005),h.434
Dimyati dan Mudjiono, Belajar & Pembelajaran, (Jakarta :
Rineka Cipta, 1999)
E.
Walpole, Ronal,
Pengatar Statistika, Jakarta : (PT.
Gramedia Pustaka, 1993)
Hudoyo, Herman, Mengajar dan Belajar Matematika, (Jakarta : Dirjen dikti, 1988)
Ibrahim dkk, Pembelajaran Kooperatif, (Surabaya : UNESA-University Press, 2006)
Isjoni, Cooperatife Learning,
(Bandung : Alfabeta, 2010)
Sardiman, Interaksi dan
Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta : PT Raja Grafindo, 2001)
Praktiknyo Prawironegoro,Evaluasi Hasil Belajar Khusus Analisis Soal Bidang Matematika,
(Jakarta: Dirjen Dikti P21. PTK,1985 )
Sudjana, Nana, Cara Belajar Siswa Aktif
Dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 1989)
Suherman, Erman dkk, Strategi Pembelajaran
Matematika Kontemporer, (Bandung: JICA University Pendidikan Indonesia, 2001)
Suryabrata, Sumadi. 2004. Metodologi Penelitian.
Jakarta: Grafindo
BSNP.
2006. Draf Final Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan : Standar Kompetensi
Mata Pelajaran Matematika SMP dan MTs. Jakarta : Badan Standar
Nasional Pendidikan.
Liesnawati.
(2006). Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Representasi
Matematika terhadap Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa SMA. Skripsi:
Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Munandar,
S. C. U. 2002. Kretivitas dan Keberbakatan Strategi Mewujudkan Potensi
Kreatif dan Bakat. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Pomalato,
Sarson W. Dj. 2005. Pengaruh Penerapan Model Treffinger pada Pembelajaran
Matematika dalam Mengembangkan Kemampuan Kreatif dan Pemecahan Masalah Siswa. Disertasi
PPS UPI : Tidak diterbitkan.
Suherman,
E., Kusumah. 1990. Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan
Matematika. Bandung: Wijayakusuma.
Suherman,
Erman, dkk. 2001. Common Text Book : Strategi Pembelajaran Matematika
Kontemporer. Bandung : JICA UPI.
[1] Departemen AgamaRI, AL-Qur’an
dan Terjemahan(Bandung: CV Diponegoro, 2005),h.434
[2] Erman Suherman, Common Text Book Strategi Pembelajaran
Matematika Kontemporer, (Bandung: JICA Universitas Pendidikan Indonesia,
2003), h.17.
[3] BNSP, Draf Final Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan : Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika SMP dan MTs (Jakarta : Badan
Standar Nasional Pendidikan , 2006) hal,12
[4]
Liesnawati, Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Representasi
Matematika terhadap Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa SMA. (Bandung :
Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA Bandung, 2006) hal. 5
[14] Munandar, Kreatif dan Keberkatan Strategi Mewujudkan Potensi
Kreatif dan Bakat (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Umu, 2002), hal 76
[15]
Suherman Erman,
Common Text Book : Stratei Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung
: JICA UPI , 2001), hal 43
[16] Suherman Erman, Common…. Hal 37
[17]
Pormalano, Pengaruh….. hal 21
[18] Pormalano, Pengaruh….. hal 23