BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Maraknya
penyimpangan akhlak dewasa ini bukanlah fenomena yang
langka. Tidak bisa dipungkiri kebobrokan akhlak ini terjadi seiring
perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, karena disamping memberikan
kemudahan dan kenyamanan hidup ilme pengetahuan dan teknologi justru merupakan
penyebab hancurnya moralitas kaum intelektual yang tidak mampu menyeimbangi
ilmunya dengan agama. namun walaupun demikian hal tersebut tergantung pada
individunya. Karena individu tersebut yang akan mengendalikan dirinya sendiri,
apakan iai ikut terjerumus dalam penyimpangan akhlak atau tetap berpegang teguh
pada ajaran agamanya.
Untuk
itulah pembinaan akhlak ini diperlukan. Pembinaan akhlak harus diberikan semenjak
usia dini agar bumi Allah ini di huni oleh orang-orang / individual yang cerdas
dan berakhlak mulia.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini rumusan masalah yang akan d kaji
diantaranya:
a. Bagaimanakah pengertian
akhlak?
b. Bagaimanakah pembinaan akhlak itu?
c. Bagaimana metode pembinaan akhlak?
d. Apakah
tujuan pembinaan akhlak?
1.3.Tujuan
dan Kegunaan
Tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya:
1.
Untuk mendiskripsikan pengertian akhlak.
2.
Untuk lebih memahami tentang pembinaan akhlak.
3.
Untuk mengetahui motode pembinaan akhlak.
4.
Untuk memahami tujuan pembinaan akhlak.
Adapun kegunaannya adalah:
1.
Menambah wawasan dan sebagai bahan bacaan.
2.
Memenuhi
tugas terstruktur mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Akhlak
Akhlak dari kata Al-Akhlak, jamak dari
Al-khuluq yang artinya kebiasaan, perangai, tabiat dan agama. Menurut Al Gazali, kata akhlak sering
diidentikkan dengan kata kholqun (bentuk lahiriyah) dan Khuluqun (bentuk
batiniyah), jika dikaitkan dengan seseorang yang bagus berupa kholqun dan
khulqunnya, maka artinya adalah bagus dari bentuk lahiriah dan rohaniyah. Dari dua
istilah tersebut dapat kita pahami, bahwa manusia terdiri dari dua susunan
jasmaniyah dan batiniyah. Untuk jasmaniyah manusia sering menggunakan istilah
kholqun, sedangkan untuk rohaniyah manusia menggunakan istilah khuluqun. Kedua
komponen ini memilih gerakan dan bentuk sendiri-sendiri, ada kalanya bentuk
jelek (Qobi’ah) dan adakalanya bentuk baik (jamilah). Akhlak yang baik disebut
adab. Kata adab juga digunakan dalam arti etiket, yaitu tata cara sopan santun
dalam masyarakat guna memelihara hubungan baik antar mereka.[1]
Akhlak disebut juga ilmu
tingkah laku / perangai (Imal-Suluh) atau Tahzib al-akhlak (Filsafat akhlak),
atau Al-hikmat al-Amaliyyat, atau al-hikmat al- khuluqiyyat. Yang
dimaksudkan dengan ilmu tersebut adalah pengetahuan tentang kehinaan-kehinaan
jiwa untuk mensucikannya. Dalam bahasa Indonesia akhlak dapat diartikan dengan
moral, etika, watak, budi pekertim, tingkah laku, perangai, dan kesusilaan.
2.2 Pembinaan Akhlak
Pembinaan adalah suatu usaha untuk membina.
Membina adalah memelihara dan mendidik, dapat diartikan sebagai bimbingan
secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta
didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.[2]
Anak didik adalah anak yang masih dalam proses
perkembangan menuju kearah kedewasaan. Hal ini berarti bahwa anak harus
berkembang menjadi manusia yang dapat hidup dan menyesuaikan dari dalam
masyarakat, yang penuh dengan aturan-aturan dan norma-norma kesusilaan. Oleh
karena itu perlulah anak di didik, dipimpin kearah yang dapat dan sanggup hidup
menuruti aturan-aturan dan norma-norma kesusilaan. Jadi maksud dari tujuan
pendidikan akhlak atau kesusilaan adalah memimpin anak setia serta mengerjakan
segala sesuatu yang baik dan meninggalkan yang buruk atas kemauan sendiri dalam
segala hal dan setiap waktu.
Pada masa sekarang ini
demoralisasi telah merajalela dalam kehidupan masyarakat, maka dari itu
diperlukan usaha-usaha pendidikan dalam mengupayakan pembinaan akhlak terutama
pada masa remaja, karena pada masa pubertas dan usia baligh anak mengalami
kekosongan jiwa yang merupakan gejala kegoncangan pikiran, keragu-raguan,
keyakinan agama, atau kehilangan agama. Menurut Al-Gazaly adalah menunjukkan
suatu hikmah bahwa anak puber tersebut memerlukan bekal untuk mengisi
kekosongan jiwanya melalui sublimasi dan “way out” dari problema yang
dihindarinya.
2.3 Metode Pendidikan Akhlak
Yang dimaksud dengan metode disini ialah semua
cara yang digunakan dalam upaya mendidik. Adapun metode Islam dalam upaya
perbaikan terhadap akhlak adalah mengacu pada dua hal pokok, yakni pengajaran
dan pembiasaan. Yang dimaksud dengan pengajaran adalah sebagai dimensi teoritis
dalam upaya perbaikan dan pendidikan. Sedangkan yang dimaksud dengan pembiasaan
untuk dimensi praktis dalam upaya pembentukan (pembinaan) dan persiapan.
Ali Kholil Abu’Ainin
didalam kitabnya : Falsafahtul Tarbiyatul Islamiyahtu Al-Qur’anil karim”
mengemukakan secara panjang lebar tentang metode pendidikan Islam, yang
diringkasnya menjadi 11 (sebelas) macam, yaitu :
1.
Pengajaran tentang cara beramal dan pengalaman
/ ketrampilan. Metode
ini dapat dilakukan melalui ibadah shalat, zakat, puasa, haji dan ijtihad.
2.
Mempergunakan akal.
3.
Contoh yang baik dan jujur.
4.
Perintah kepada kebaikan, larangan perbuatan
munkar saling berwasiat kebenaran, kesabaran dan kasih sayang.
5.
Nasihat-nasihat
6.
Kisah-kisah
7.
Tamsil
8.
Menggemarkan dan menakutkan atau dorongan dan
ancaman.
9.
Menanamkan atau menghilangkan kebiasaan.
10.
Menyalurkan bakat.
11.
Peristiwa-peristiwa yang berlalu.
Menurut
al-nahlawi metode pendidikan yang diajurkan, antara lain :
1.
Metode Hiwar Qur’ani dan Nabawi
Hiwar (dialog) ialah
percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih mengenai suatu topik, dan
dengan sengaja diarahkan kepada satu tujuan yang dikehendaki (dalam hal ini
oleh guru). Metode ini berupa Tanya jawab, dan telah
menarik perhatian pendengar terhadap mau’izah yang di sampaikan.[3]
Dalam percakapan itu bahan pembicaraan tidak
dibatasi, dapat digunakan berbagai konsep sains, filsafat, seni, wahyu, dll.
Kadang-kadang pembicaraan sampai pada satu kesimpulan, kadang-kadang tidak
sampai pada kesimpulan, karena salah satu pihak tidak puas terhadap pendapat
pihak lain. Yang manapun ditemukan hasilnya dari segi pendidikan tidak jauh
berbeda, masing-masing mengambil pelajaran untuk menentukan sikap pada dirinya.
Metode Hiwar pada saat ini
masih efektif dipakai dalam belajar mengajar, yakni sama dengan diskusi pada
zaman sekarang ini, dan memang cukup efektif untuk melatih anak didik lebih
mandiri karena mereka dapat berdialog dari hasil bacaan mereka sendiri pada
tema yang telah di tentukan oleh gurunya.
2.
Metode kisah Qur’ani dan Nabawi
Dalam pendidikan Islam,
terutama pendidikan agama Islam (sebagai suatu bidang studi), kisah sebagai
suatu metode pendidikan amatlah penting, untuk dapat merenungkan kisahnya, yang
menyentuh hati umat manusia. Kisah Qur’ani adalah untuk mendidik perasaan
keimanan.[4]
3.
Metode
amtsal (perumpamaan)
Dimaksudkan untuk menafikan (menghilangkan)
cahaya dari kepercayaan menyembah objek-objek pemujaan selain Allah. Tujuannya
untuk mempermudah pengertian manusia didik tenyang suatu konsep dengan melalui
pertimbangan akal.[5]
Metode ini banyak kita temui dalam Al-qur’an,
antara lain :
Dalam surah Al-Baqarah ayat 17. Perumpamaan
orang-orang kafir itu adalah seperti orang
yang menyalakan api.
مثلهم
كمثل الذي استو قدنارا فلما اضأت ما حوله ذهب الله بنورهم وتركهم فى ظلمت لايبصرون
Dalam surah Al-Ankabut ayat 41 Allah
mengumpamakan sesembahan atau Tuhan orang kafir dengan sarang laba-laba,
Perumpamaan orang-orang yang berlindung kepada selain Allah atau seperti
laba-laba yang membuat rumah, padahal rumah yang paling lemah adalah rumah
laba-laba.
مثلهم
الذين اتخذوا من دون الله اوليأ كمثل المنكبوت اتخذت بيتا وان اوهن البيوت لبيت
المنكبوت لوكانوا يعلمون
Kebaikan dari metode ini adalah :
Kebaikan dari metode ini adalah :
a)
Memudahkan siswa memahami konsep yang abstrak.
b)
Perumpamaan dapat merangsang kesan terhadap makna yang
tersirat dalam perumpamaan tersebut.
c)
Merupakan pendidikan agar bila menggunakan perumpamaan
haruslah logis dan mudah dipahami.
d)
Perumpamaan Qur’ani dan Nabawi memberikan motivasi kepada
pendengarnya untuk berbuat amal baik dan menjauhi kejahatan.
4.
Metode Teladan
Secara psikologis anak menang senang meniru,
tidak saja yang baik, yang jelekpun ditirunya. Dalam teori tabula rasa (John
Lock dan Francis Bacon), bahwa anak yang baru dilahirkan dapat di umpamakan
sebagai kertas putih bersih yang belum ditulisi, segala kecakapan dan
pengetahuan manusia timbul dari pengalaman yang masuk melalui alat indra.
5.
Metode Pembiasaan
Inti dari pembiasaan adalah pengulangan, metode
mendidik anak murid pada masa kini. Yang menetapkan bahwa dengan cara mengulang
–ngulangi pengalaman dalam berbuat sesuatu dapat meninggalkan kesan-kesan yang
baik dalam jiwanya, dan dari aspek inilah anak akan mendapatkan kenikmatan pada
waktu mengulang-ngulangi pengalaman yang baik itu, berbeda dengan pengalaman-pengalaman
tanpa melalui praktik.
6.
Metode
Ibrah dan mau’idah
Ibrah ialah suatu kondisi
psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan, yang
dihadapi, dengan menggunakan nalar, yang menyebabkan hati mengakuinya. Adapun
Mu’idah ialah nasihat yang lembut yang diterima oleh hati dengan cara
menjelaskan pahala atau ancamannya.
7.
Metode
Targib dan Tarhib
Targib ialah janji terhadap kesenangan, kenikmatan
akhirat yang disertai bujukan. Tarhib ialah ancaman karena dosa yang dilakukan. Sedangkan menurut Prof. Dr.H.M Arifin Med,
bahwa dalam Al-Qur’an dan sunah nabi dapat ditemukan metode-metode untuk
pendidikan agama, antara lain :
a.
Perintah / larangan
b.
Cerita tentang orang-orang yang taat dan
orang-orang yang berdosa (kotor) serta akibat-akibat dari perbuatannya.
c.
Peragaan, misalnya manusia disuruh melihat
kejadian dalam alam ini, dengan melihat gunung, laut, hujan, tumbuhan dan
sebagainya.
d.
Instruksional (bersifat pengajaran), misalnya
menyebutkan sifat-sifat orang yang beriman, begini dan begitu dan lain
sebainya.
e.
Acquisition (self : aducation), misalnya menyebutkan
tingkah laku orang yang munafik itu merugikan diri mereka sendiri, dengan
maksud manusia jangan menjadi munafik dan mau mendidik dirinya sendiri kearah
iman yang sesungguhnya.
f.
Mutual Education (mengajar dalam kelompok),
misalnya nabi mengajar sahabat tentang cara-cara sembah yang dengan contoh
perbuatan yang mendemonstrasikannya.
g.
Exposition (dengan menyajikan) yang didahului dengan
motivasion (menumbuhkan minat) yakni dengan memberikan muqodimah lebih dahulu,
kemudian baru menjelaskan pelajarannya.
h.
Function (pelajaran dihidupkan dengan praktek) misalnya
nabi mengajarkan tentang hukum-hukum dan syarat-syarat haji, kemudian nabi
bersama-sama untuk mempraktekannya.
i.
Explanation (memberi penjelasan tentang hal-hal yang
kurang jelas) misalnya nabi memberi penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an, seperti
ayat-ayat yang memerintahkan bersembahyang dan sebagainya.
Konsep pendidikan modern
saat ini sejalan dengan pandangan al-Gazaly tentang pentingnya pembiasaan
melakukan suatu perbuatan sebagai suatu metode pembentukan akhlak yang utama,
terutama karena pembiasaan itu dapat berpengaruh baik terhadap jiwa manusia,
yang memberikan rasa nikmat jika diamalkan sesuai dengan akhlak yang telah
terbentuk dalam dirinya.
Begitu juga metode
mendidik anak pada masa kini yang menetapkan bahwa dengan cara mengulang-ulangi
pengalaman dalam berbuat sesuatu dapat meninggalkan kesan-kesan yang baik dalam
jiwanya, dan dari aspek inilah anak akan mendapatkan kenikmatan pada waktu
mengulang-ulangi pengalaman yang baik itu, berbeda dengan pengalaman yang
diperoleh dengan tanpa melalui praktek, maka kesan yang ditinggalkan adalah
jelek.
Pandangan Al-Gazaly tersebut sesuai dengan
pandangan ahli pendidikan Amerika Serikat, John Dewey, yang mengatakan
“Pendidikan moral itu terbentuk dari proses pendidikan dalam kehidupan dan
kegiatan yang dilakukan oleh murid secara terus menerus”.
Oleh karena itu pendidikan akhlak menurut John
Dewey adalah pendidikan dengan berbuat dan berkegiatan (learning by doing) yang
terdiri dari pada tolong menolong, berbuat kebajikan dan melayani orang lain,
dapat dipercaya dengan jujur. John Dewey berpendapat bahwa akhlak (moralitas)
tidak dapat diajarkan kepada anak dengan melalui cerita-cerita yang dikisahkannya,
akan tetapi hanya dapat diajarkan melalui praktek yang manusiawi saja. Sehingga
kebajikan dan moralitas dan pengertian yang terkandung didalam cerita-cerita
tidak mungkin dipindahkan (transformasikan) kedalam jiwa anak untuk menjadi
akhlaknya, yang kemudian berinteraksi dengan anak lain berdasarkan atas
pemeliharaan keutamaan-keutamaannya, akhlak (moralitas) hanya dapat diajarkan
dengan cara membiasakan dengan perbuatan praktis.
2.4 Tujuan Pembinaan Akhlak
Akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan
dengan etika, jika etika diatasi pada sopan santun antar sesama manusia, serta
hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah.
Akhlak lebih luas maknanya
daripada yang telah dikemukakan terlebih dahulu serta mencakup pula beberapa
hal yang tidak merupakan sifat lahiriah. Misalnya yang berkaitan dengan sikap
batin maupun pikiran. Akhlak diniah (agama) mencakup berbagai aspek, dimulai
dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesama makhluk (manusia, binatang,
tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa).
a) Akhlak
Terhadap Allah
Titik tolak akhlak terhadap Allah atau
pengukuran dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki
sifat-sifat terpuji, demikian Agung sifat terpuji itu, yang jangankan
manusia, malaikat pun tidak akan mampu menjunjungkan hakikatnya.
b)
Akhlak Terhadap Sesama Manusia
Banyak sekali rincian yang dikemukakan
Al-Qur’an berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai
hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif seperti
membunuh, menyakiti badan, atau mengambil harta hati dengan jalan menceritakan
aib seseorang dibelakangnya, tidak peduli aib itu benar atau salah, walaupun
sambil memberikan materi kepada yang disakiti hatinya itu.
قول معروف ومغفرة خير من صدقة يتبعهاازى والله
غني حليم ( البقره 2/: 263)
Artinya : “Perkataan yang baik dan pemberian
maaf lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan sesuatu yang menyakitkan
(perasaan sipenerima)”.
(Q.S. Al-Baqarah/2 : 263).
(Q.S. Al-Baqarah/2 : 263).
Disisi lain Al-Qur’an menekankan bahwa setiap
orang hendaknya didudukan secara wajar. Nabi Muhammad SAW, misalnya dinyatakan
sebagai manusia yang sempurna, namun dinyatakan pula sebagai Rosul yang
memperoleh penghormatan melebihi manusia lain. Karena itu Al-Qur’an berpesan
kepada orang-orang mukmin.
Langkah-langkah
kedepan;
a. Pembinaan human
capital melalui keluasan ruang gerak mendapatkan pendidikan,
b. Pembinaan
generasi muda yang akan mewarisi pimpinan berkualiti, memiliki jati diri, padu
dan lasak, integreted inovatif.
c. Mengasaskan
agama dan akhlak mulia sebagai dasar pembinaan generasi muda.
d. Langkah drastik mencetak ilmuan Muslim yang
benar-benar beriman taqwa.
e. Pembinaan minda
wawasan generasi muda kedepan yang bersatu dengan akidah, budaya dan bahasa
bangsa.
f. Secara
sungguh-sungguh mewujudkan masyarakat madani yang berteras kepada prinsip
keadilan (equity) sosial yang terang.[6]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Akhlak yang baik disebut adab. Kata
adab juga digunakan dalam arti etiket, yaitu tata cara sopan santun dalam
masyarakat guna memelihara hubungan baik antar mereka. Akhlak adalah
cermin tingkah laku manusia. Akhlak menjadi standar kelayakan manusia untuk
mendapatkan kemuliaan di sisi Allah SWT. Akhlak mulia adalah anugerah terindah
yang diberikan Allah SWT kepada para hamba-Nya. Manusia yang berakhlak mulia
ibarat mutiara yang bersinar dalam kegelapan. Ia bak pohon yang tumbuh dan
berbuah, kemudian buahnya dapat bermanfaat bagi yang memakannya.
Pembinaan adalah suatu usaha untuk
membina. Membina adalah memelihara dan mendidik, dapat diartikan sebagai
bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani
peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan
dengan etika, jika etika diatasi pada sopan santun antar sesama manusia, serta
hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah.
Dengan adanya pembinaan akhlak yang terstruktur
dan meniru metode yang pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW diharapkan, lahirlah
generasi –generasi muda yang berakhlak mulia sesuai dengan Alquran dan Sunnah.
3.2.
Saran
Dalam penulisan
makalah ini, masih banyak kekurangan kekurangan maka dari itu, penulis
mengharapkan semoga para pembaca bisa memberikan masukan kepada penulis. Semoga
makalah ini dipergunakan sebaik-baiknya.
[3] Muhammad Rabbi Muhammad
Jauhari, Keistimewaan Akhlak Islami, (Bandung:
Pustaka Setia,2006), hal.34
0 komentar:
Posting Komentar